Many faces of political islam in the middle east: arah baru gerakan politik islam pasca-arab spring

Detail Cantuman

Text

Many faces of political islam in the middle east: arah baru gerakan politik islam pasca-arab spring

XML

Arab spring membawa perubahan besar pada politik Timur Tengah. Banyak yang berharap bahwa Arab spring bukan hanya revolusi Arab jilid dua setelah revolusi Iran pada tahun 1979, tetapi merupakan era baru kebangkitan demokratisasi di Timur Tengah yang akan memberi ruang bagi gerakan politik Islam berpartisipasi secara terbuka di ranah publik. Sarjana-sarjana studi Islam beranggapan bahwa Arab spring merupakan jembatan menuju “Islamist winter”. Islamist winter diartikan dengan ketakutan dunia akan tumbuhnya kalangan Islamis menguasai kekuasaan di dunia Arab.[1] Hal ini mengarah pada notasi apakah radikalisme Islam akan tumbuh di Timur Tengah?

Gerakan Arab spring bukanlah gelombang statis. Politik Timur Tengah senantiasa bergerak secara dinamis. Kemenangan Muhammad Mursi di Mesir, kekuasaan Receep Tayyep Erdogan yang semakin kuat di Turki, kemenangan Ennahda di Tunisia, dan bangkitnya Ikhwanul Muslimin secara terbuka hampir di semua negara yang dilanda Arab spring tidaklah secara linier di konotasikan sebagai kebangkitan radikalisme Islam di Timur Tengah. Sebagaimana Asef Bayat mengatakan bahwa Arab spring merupakan momentum baru bagi transformasi menuju post-Islamism, dimana sebuah gejala baru yang merupakan the fusion of religiousity and rights, faithy and freedom, Islam and liberty, as an attempt to trancend Islamism by building a pious society within non-religious state.[2]

Pada posisi ini Asef Bayat memiliki standing position yang berbeda dengan Olivier Roy, dimana Roy mempercayai gerakan politik Islam di dunia Islam tidak akan pernah berhasil karena konsep yang diajukan bersifat utopia. Dalam bukunya tentang The Failure of Political Islam, Roy menggambarkan berakhirnya suatu periode dan dimulainya babak baru dari periode lain, bahwa politik Islam tidak diterima bahkan oleh masyarakat Islam itu sendiri.[3] Over generalisasi yang dilakukan oleh Roy mendapatkan kritikan akademis yang luas, dan bagi Asef Bayat hal ini bentuk simplifikasi Roy terhadap dinamisnya perkembangan politik Islam dari masa ke masa. Konsep yang diajukan oleh Asef Bayat tentang post-Islamism memberikan makna bahwa politik Islam secara substansial tidak mati tetapi bertransformasi secara lebih terbuka untuk membangun masyarakat yang relijius ditengah sistem politik yang lebih demokratis dan sekuler.

Namun demikian, temuan di buku ini tidak membenarkan semua klaim tentang gejala post-Islamism. Kudeta militer terhadap Muhammad Mursi memunculkan kekuasaan militer yang otoritarian di Mesir, runtuhnya Moammar Khadafi memunculkan perang dua pemerintahan (dawn dan tripoli) di Libya, perpecahan di Irak dan Suriah yang tak kunjung selesai, Yaman yang bergejolak, negara-negara Teluk yang semakin memproteksi diri dari Ikhwanul Muslimin yang dianggap organisasi teroris, hingga blockade Arab Saudi terhadap Qatar. Arab spring berujung pada harapan kosong akan harapan Timur Tengah yang lebih demokratis, karena Arab spring berhasil menumbuhkan demokrasi hanya di satu negara, Tunisia, tempat dimana gelombang demokratisasi itu dimulai.

Fenomena ini kami namakan dengan backward bending. Arab spring secara umum tidak menumbuhkan demokrasi (kecuali di Tunisia), justru menjadi arus balik bagi tumbuhnya otoritarianisme baru di Timur Tengah. Kegagalan Arab spring dalam menumbuhkan iklim demokrasi di Timur Tengah merupakan fenomena Arab exceptionalism, dimana dunia Arab secara politik dan kultural lebih sulit untuk menerima demokrasi. Praktik-praktik politik dan kekuasaan otoriter (dinasti) yang telah mengakar di Timur Tengah, tidak bisa diubah serta merta dengan jalur revolusi atau regime change. Jika negara tersebut memiliki kekuatan elit tunggal yang kuat maka re-enforcement politik secara top-down akan terjadi untuk menguasai masyarakat; atau jika tidak polarisasi kekuatan politik bersifat lebih merata maka aktor-aktor politik akan saling menguasai satu sama lain dalam konflik sipil yang panjang dan berdarah.

Tunisia berhasil menumbuhkan demokrasi setelah revolusi dan regime change karena transformasi nilai-nilai demokrasi di negara bekas jajahan perancis itu sudah tumbuh sejak sebelum terjadinya Arab spring. Struktur politik, sosial dan budaya masyarakat di negara francophone tersebut lebih siap menerima perubahan ke arah yang demokratis. Demokratisasi ini mengubah satu wajah politik Islam di Tunisia menjadi lebih terbuka dan moderat. Gerakan politik Islam terbesar di Tunisia, Ennahda, melakukan transformasi dari gerakan radikal menjadi partai politik dengan menjadikan Turki sebagai prototype dibandingkan apa yang dilakukan Mursi di Mesir.

Hal ini tidak hanya berlaku di Tunisia. Perubahan sosial dan politik di Timur Tengah yang terjadi paska Arab spring berkorelasi dengan munculnya berbagai wajah-wajah baru gerakan politik Islam. Keniscayaan ini tumbuh karena politik Islam bersifat responsif terhadap perubahan sosial dan politik di lingkungannya.

ISBN 978-602-496-170-1 (Cetak)
978-602-496-151-0 (Ebook)


Detail Information

Item Type
E-Book
Penulis
Student ID
Dosen Pembimbing
Penguji
Kode Prodi PDDIKTI
Edisi
1
Departement
Kontributor
Bahasa
Indonesia
Penerbit LIPI Press : Jakarta.,
Edisi
1
Subyek
No Panggil
Copyright
2020 Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
Doi

Lampiran Berkas

LOADING LIST...



Informasi


DETAIL CANTUMAN


Kembali ke sebelumnya