Mengenal kebudayaan keo: dongeng, ritual dan organisasi sosial

Detail Cantuman

Text

Mengenal kebudayaan keo: dongeng, ritual dan organisasi sosial

XML

Keo dalam publikasi ini dipakai dalam artian nama sebuah etnis dan nama suatu kawasan atau wilayah dari Kabupaten Nagekeo di Flores Tengah, Propinsi Nusa Tenggara Timur. Sebagai nama etnis, orang Keo menghuni kawasan wilayah seputar lereng gunung Ebulobo bagian selatan dan juga sekitar Gunung Koto di Kecamatan Keo Tengah serta Kedi Diru di Kecamatan Nangaroro. Dalam publikasi Belanda, nama Kéo tertulis dalam laporan Freijss (1860), untuk menjelaskan sekelompok penduduk nelayan yang berdomisili sepanjang pantai selatan Flores Tengah, yang dibedakannya dengan penduduk dari etnis Nage. Pada saat yang sama, Freijss mencatat tentang Puncak Kéo (Kéopiek) yang dimaksudkannya adalah Ebu Lobo, dan ‘Teluk Kéo’ atau ‘Kéo Bay’. Menurut catatan sejarah dan tuturan lisan, jauh sebelum ada misionaris dan pedagang Portugis dan Belanda di persada Flores, sesungguhnya nama etnis Keo itu telah tenar dan dikenal oleh para misionaris Dominikan dari Portugis yang telah melanglang buana pada abad ke-16 di kawasan itu untuk mewartakan Injil hingga menjangkau beberapa stasi di kawasan Keo seperti stasi Kewa, Mari dan Lena. Dalam pelbagai literatur Belanda, hingga abad ke-19. nama Keo nampaknya selalu menjadi rujukan untuk seluruh kawasan Keo dan Nage. Intervensi kolonial di kawasan ini sesungguhnya jauh kemudian (1907) dibandingkan dengan kawasan lainnya di Indonesia dan NTT. Ketika tiba di Indonesia, termasuk di Keo, para pejabat kolonial mulai melakukan restrukturisasi ‘pemerintahan lokal’ sesuai bentuk administrasi kolonial, sambil merujuk pada struktur organisasi asli masyarakat adat. Transisi dan perubahan sistem administrasi sering dilakukan, karena para penguasa asing itu sering mengalami kesulitan untuk menyelaraskan sistem asing dengan sistem adat setempat. Namun sejak tahun 1920-an, situasi politik berubah dan pemerintah Belanda mulai terbuka untuk mendengar para penguasa adat lokal. Seluruh kepulauan nusantara (Indonesia) dibagi ke dalam Gewesten atau Propinsi yang dikepalai oleh Governeur atau Residen. Gewesten itu dibagi-bagi lagi atas bagian-bagian yang dikepalai oleh Asisten Residen, yang selanjutnya dibantu lagi oleh seorang Controleur. Pulau-pulau di luar Jawa, termasuk Timor dan Flores dibagi lagi ke dalam sub-divisi (Onderafdeeling) yang dikepalai oleh seorang Controleur atau Gezaghebber.

Beberapa sistem pemerintahan lokal yang dipadukan dengan sistem administrasi kolonial sesungguhnya telah diterapkan dimana-mana seperti sistem pemerintahan desa dari Jawa, sistem marga dari Sumatera Selatan, dan sistem nagari dari Sumatera Barat. Di kepulauan Timor dan Flores, beberapa penguasa lokal dengan sistem penguasa asli setempat yang dikenal dengan nama penatua adat (adathoofden atau mosa daki) dan pengawas atau pengatur tanah (grondvoogden atau ine tana ame watu) difungsikan oleh penjajah. Hingga tahun 1910-an, pemerintah kolonial sering memandang Keo sebagai kawasan dan masyarakat yang keras kepala, sulit diperintah, dikuasai dan diatur. Kesan itu timbul karena di wilayah Keo masa itu telah terjadi 2 (dua) pemberontakan local, yakni pemberontakan yang dipimpin oleh Kaka Dupa di wilayah Tana Dea (1907) dan pemberontakan Lejo, yang dikenal dengan Perang Lejo (1912) di bawah pimpinan Lewa Wula. Belanda yang lasim menerapkan sistem “divide et impera” (membagi-bagi dan menguasai), di kawasan Keo menerapkan sistem, yang bisa dinamakan “unifica et impera” (menyatukan dan menguasai). Berhadapan dengan sikap non-kooperatif masyarakat Keo dan kebutuhan mendesak untuk menciptakan wilayah-wilayah administrative berdasarkan kesamaan budaya, bahasa dan organisasi social lokal, maka penjajah memperlakukan Keo sebagai bagian dari Nage, sambil mendaftarkan semua kampung di kawasan Keo dalam wilayah Nage sebagaimana tertera dalam laporan kolonial tahun 1910-an. Latar belakang dari usaha unifikasi Keo bersama Nage adalah situasi dan kondisi sosial politik yang tidak aman di kawasan Keo antara tahun 1908 hingga 1912, yang dipicu umumnya oleh pemberontakan dan ketidak-puasan individual dalam hal pembayaran pajak dan kerja rodi (kerja paksa). Pada tahun 1913, setelah pemberontakan Sela Lejo, sebuah rapat akbar diadakan di kampung Wajo. Dalam rapat itu Muwa Tunga dari kampung Kota terpilih sebagai administrator lokal sementara. Muwa Tunga akhirnya menjadikan kampungnya Kota sebagai pusat distrik, yang dikenal kemudian dengan nama Kota Keo. Ketika situasi dan kondisi pemberontakan di Keo semakin meredah, pada tahun 1915, pejabat kolonial A. R. Herns mengusulkan agar Keo dan Nage dipersatukan menjadi satu landschap (distrik) bernama Nage dan diperintah oleh Roga Ngole. Pada prinsipnya usulan tersebut diterima baik oleh Belanda. Namun, dalam sebuah rapat di Boawae pada tanggal 8 April 1917, usulan itu tidak dapat disahkan oleh para pemimpin kedua wilayah, baik dari Nage maupun dari Keo. Memperhatikan hasil pertemuan Boawae tersebut, maka pimpinan Afdeeling Flores dan Gezagheber Ngada, dalam laporan yang ditulis tanggal 20 April 1917 (no. 798/15) menginformasikan kepada Residen Timor bahwa kedua wilayah Nage dan Keo itu hendaknya tidak dipersatukan di bawah kekuasan Roga Ngole. Wilayah Keo hendaknya tetap diakui sebagai distrik atau landschap tersendiri dengan Muwa Tunga sebagai administratornya. Maka dengan dekrit pemerintah Belanda tertanggal 28 Nopember 1917 (no.57), Muwa Tunga ditunjuk sebagai administrator (atau Bestuurder) yang juga telah diembannya sejak 1913, dan yang kemudian dikukuhkan dengan sumpah jabatan.

Pada tanggal 2 Maret 1918, disaksikan oleh Gezagheber Ngada, Muwa Tunga mengambil sumpah (Korte Verklaring), dan lalu ditanda-tangani olehnya dan oleh para saksi. Di bawah kepemimpinan Muwa Tunga, landschap Keo dibagi atas 10 (sepuluh) Haminte dan dipimpin oleh masing-masing secundaire hoofden atau Kepala Mere. Hamilton mendaftar ke-10 Hamente dengan masing-masing Kepala Mere sebagai berikut: Tonggo dengan Kepala Mere Pua Mera, Riti dengan Kepala Mere Goo Bhoko, Lewa dengan Kepala Mere Aja Mbaa, Wajo dengan Kepala Mere Aja Ari, Wuji dengan Kepala Mere Mere Muku, Pau Tola dengan Kepala Mere Ora Ari, Kota dengan Kepala Mere Ego Ari, Sawu dengan Kepala Mere Mite Ebu, Lejo dengan Kepala Mere Tado Toyo, dan Worowatu dengan Kepala Mere Seme Rau.

Kendatipun yurisdiksi administrasi sementara telah diciptakan oleh Belanda sesuai dengan lembaran negara, yang selanjutnya menjadi satu wilayah administratif yang tetap dengan ibukotanya di Bajawa, Belanda tetap saja berusaha merevisi kemungkinan untuk mempersatukan Keo dengan Nage selama dua dekade pertama masa pemerintahan kolonial di kawasan ini. Usaha lain untuk mempersatukan kedua wilayah itu juga gagal pada tahun 1928. Tiga tahun kemudian, unifikasi terjadi pada tanggal 26 Januari 1931. Swapraja Nagekeo terbentuk dan berlangsung hingga tahun 1950.

Menurut informasi lisan dan catatan yang kurang lengkap yang diperoleh bahwa meskipun unifikasi menjadi Swapraja Nagekeo itu berhasil, namun eksistensi Hamente Keo Tengah tetap berjalan dengan kepemimpinan beberapa Kepala Mere secara bergantian dan berlanjut secara berturut- turut a.l: Kepala Mere Goa Tunga, Yosef Taa, Frans Tua Bara, Mikhael Bhebhe, Felix Dhedhu. Selanjutnya dijadikan Kecamatan Keo, yang dimekarkan lagi menjadi Kecamatan Keo Timur (Nangaroro) dan Keo Barat (Mauponggo) serta Keo Tengah yang berpusat di Maundai, di wilayah Hamente Worowatu.

Menurut struktur administrasi modern, wilayah Keo pada awalnya merupakan bagian dari Kabupaten Ngada. Berdasarkan Surat Keputusan Gubernur NTT, tertanggal 22 Pebruari 1962, bernomor PEM.66/1/2, nama Keo pada awalnya tetap dipertahankan sebagai nama dari sebuah Kecamatan dari enam Kecamatan di Kabupaten Ngada. Namun, setahun kemudian, berdasarkan Surat Keputusan Gubernur NTT yang baru, tertanggal 22 Juli 1963, bernomor: Pem.66/1/32, Kecamatan Keo dimekarkan menjadi 2 (dua) Kecamatan yakni Keo Barat dengan nama Kecamatan Mauponggo dan Keo Timur dengan nama Kecamatan Nangaroro. Lalu berdasarkan Surat Keputusan Gubernur NTT bernomor: Pem.9/2002, sebuah Kecamatan baru bernama Kecamatan Keo Tengah dibentuk, dengan wilayah mencakupi 8 (delapan) desa dari kawasan Timur Kecamatan Mauponggo yakni desa Keli, Lewa Ngera, Wajo, Koto Wuji Timur, Koto Wuji Barat, Mbae Nuamuri, Worowatu, dan Witu Romba Ua, dan ditambahkan dengan 3 (tiga) desa dari kawasan Barat Kecamatan Nangaroro yaitu desa Koto Diru Mali, Lado Lima dan Pau Tola. Lalu berdasarkan Undang-Undang No.2/2007 tentang Pembentukan Kabupaten Nagekeo, sejak peresmian Kabupaten baru itu Kecamatan Keo Barat, Keo Tengah dan Keo Timur beralih menjadi bagian dari Kabupaten Nagekeo.


Detail Information

Item Type
E-Book
Penulis
Philipus Tule - Personal Name
Student ID
Dosen Pembimbing
Penguji
Kode Prodi PDDIKTI
Edisi
1
Departement
Kontributor
Bahasa
Indonesia
Penerbit UNWIRA Press : Kupang.,
Edisi
1
Subyek
No Panggil
Copyright
2019 Unwira Press
Doi

Lampiran Berkas

LOADING LIST...



Informasi


DETAIL CANTUMAN


Kembali ke sebelumnya