Negara di tengah kota: politik representasi dan simbolisme perkotaan surabaya 1930-1960

Detail Cantuman

Text

Negara di tengah kota: politik representasi dan simbolisme perkotaan surabaya 1930-1960

XML

Setiap kekuasaan membutuhkan media untuk merepresentasi kekuasaannya dan simbol kota menjadi salah satu media yang banyak digunakan untuk kepentingan itu. Simbol kota juga menjadi alat untuk melihat relasi sosial dalam masyarakat. Secara umum simbol dapat dipahami sebagai sesuatu yang menceritakan tentang sesuatu. Freek Colombijn yang mengutip Schefold (1988: 36) mendefinisikan simbol sebagai sebuah perwujudan dengan makna tertentu yang dilekatkan padanya. Sifat-sifat dari perwujudan tersebut berhubungan dengan pengalaman-pengalaman keseharian yang berada di luar perwujudan itu sendiri. Studi tentang simbol kota menarik dan penting untuk dilakukan dengan tiga pertimbangan. Pertama, sebagian besar simbol menggunakan ruang fisik, misalnya monumen, tugu, patung, dan tempat ibadah. Kedua, simbol-simbol berpengaruh terhadap penggunaan ruang lainnya, dan sebaliknya dipengaruhi oleh penggunaan ruang yang lain. Ketiga, dinamika simbol-simbol kota merefleksikan perubahan dalam struktur kekuasaan (Colombijn 1994: 330). Politik simbolisme berubah dari waktu ke waktu. Pada zaman kolonial, simbol-simbol kota seperti monumen, patung, nama jalan, makam, tempat ibadah dibangun mengikuti tempat konsentrasi mereka. Sampai akhir masa kekuasaannya, pemerintah Belanda mendirikan ± 14 monumen dan patung. Seperti yang terjadi di Padang, monumen dan tugu di Surabaya juga banyak didirikan atas prakarsa perorangan dan kelompok. Akan tetapi, jika di Padang pemerintah Belanda masih menyisakan tempat untuk tugu berukuran kecil yang secara resmi untuk menghormati organisasi nasionalis JSB, maka di Surabaya semua monumen dan patung beraroma kolonial. Dengan semangat menghilangkan jejak kekuasaan sebelumnya, Jepang menghancurkan satu persatu monumen dan patung Belanda, termasuk patung dada Wilhelmina yang terletak di taman kota (stadstuin). Namun demikian, Jepang tidak pernah mendirikan monumen dan patung. Kekuasaannya disimbolkan antara lain melalui keharusan mengibarkan bendera Jepang pada hari raya ‘Meizi-Setu’, pemberian salam untuk menghormati prajurit Jepang dan kewajiban membungkukkan badan ke arah kaisar Jepang. Sampai tahun 1960-an, hanya ada dua monumen yang tersisa, tetapi kemudian juga harus rata dengan tanah dan diganti dengan patung perjuangan. Ketika keadaan kota mulai stabil, khususnya pasca penyerahan kedaulatan, pemerintah mulai mendirikan banyak monumen, patung, dan tugu. Salah satu tugu yang terkenal adalah tugu pahlawan yang didirikan di bekas kantor Raad van Justitie pada zaman Belanda dan gedung Kempetai pada masa Jepang. Tugu yang didirikan pada tahun 1952 (lebih dahulu dibanding Monas Jakarta) ini, menjadi contoh yang baik dari sebuah proses dekolonisasi. Selain itu, “campur tangan” Soekarno dalam proses pendiriannya sangat kental, terutama dalam desain. Salah satu monumen yang juga sangat ambisius tapi tidak terwujud hingga sekarang adalah rencana pendirian monumen W. R. Supratman di atas areal ± 240 hektar. Pada monumen ini ‘campur tangan’ Soekarno juga sangat kuat, khususnya dalam desain dan persetujuan atas tanah tempat pendiriannya. Namun demikian, monumen ini tidak pernah terwujud akibat ketiadaan dana. Bagi sebagian penduduk, pendirian monumen dan patung ini tidak lebih sebagai penghamburan uang, apalagi saat itu kondisi ekonomi baru saja pulih dari perang. Untuk menghormati W. R. Supratman misalnya, masyarakat menganggap lebih bermanfaat jika mendirikan sekolah rakyat yang kemudian diberi nama Sekolah W. R. Supratman dibanding mendirikan monumen untuknya. Selain pada monumen, patung, dan tugu, nama jalan juga menjadi media untuk merepresentasi kekuasaan. Jalan-jalan yang terletak di sebelah barat Jembatan Merah yang merupakan tempat kediaman orang-orang Eropa misalnya, dinamai dengan nama-nama Belanda seperti Heerenstraat, Willemstraat, Werfstraat, dan lain-lain. Ketika kota ini berkembang ke arah selatan, dimana terdapat pemukiman elit orang-orang Belanda, yakni sekitar Darmo Boulevard, nama-nama gubernur jenderal juga menghiasi nama-nama jalan di wilayah itu, seperti Altingstraat, J.B. van Heutszstraat, dan lain-lain. Jalan-jalan sebelah timur Jembatan Merah yang dihuni oleh orang-orang Cina diberi nama seperti Chinesevorstraat, Tepekongstraat, Tienstraat, dan lain-lain, sedangkan wilayah yang dihuni oleh orang-orang Arab dan Melayu dapat dijumpai misalnya Jalan Ampel, Mas Mansur, dan lain-lain. Satu hal yang menarik dari pemberian nama jalan pada masa pemerintahan Belanda adalah dipertahankannya sebagian besar nama-nama lokal yang mungkin sudah ada sejak abad ke-19. Dari 1113 nama jalan pada tahun 1940, hanya terdapat ± 21 % atau 236 nama jalan yang berbahasa Belanda, selebihnya memakai nama-nama local seperti Blimbingstraat, Dinojo, Djagalan, Gembong, Kaliasin, Kalianjar, dan lain-lain. Seperti pada monumen dan patung, Jepang yang berkuasa di daerah ini sejak 1942-1945 juga tidak memberikan penanda kekuasaannya pada nama-nama jalan. Satu-satunya jalan yang diubah namanya adalah Jalan Prambanan menjadi Jalan Kempetai. Hal ini berbeda dengan Madiun dan Semarang yang pada zaman Jepang mengubah nama-nama jalan berbau Belanda menjadi nama lokal. Ketika kekuasaan berganti pada republik, khususnya setelah pengakuan kedaulatan, nama-nama jalan mengalami perubahan secara besar-besaran. Nama-nama pahlawan nasional dan lokalpun kemudian menghiasi jalan-jalan di kota ini sebagai pengganti nama-nama Belanda. Perubahan dan pengabdian nama dari mereka yang dianggap berjasa bagi negera dan Kota Surabaya terus berlangsung sampai tahun 1990-an. Namun demikian, perubahan nama jalan ini tidak jarang menimbulkan pertentangan, sehingga harus dikembalikan pada nama semula, seperti kasus Jalan Darmo dan Jalan Jemursari. Sebagai salah satu simbol kekuasaan, lambang kota juga tidak luput dari berbagai upaya untuk merubahnya. Sampai saat ini, lambang Kota Surabaya yang berintikan gambar Ikan Hiu (Sura) dan Buaya (Baya) sudah tiga kali mengalami perubahan. Benteng dan Singa yang mencengkeram tulisan Sura-Ing-Baya menunjukkan dengan jelas siapa penguasa kota ketika itu. Setelah melalui serangkaian “perdebatan” di parlemen, pada tahun 1956, Dewan Perwakilan Daerah Sementara Kota Besar Surabaya (DPRD-KBS) akhirnya memutuskan lambang Kota Surabaya seperti yang kita saksikan sekarang ini. Tempat ibadah sebagai simbol agama menempati posisi penting di Kota Surabaya. Hal ini tercermin dari banyaknya mesjid, gereja, dan klenteng yang tersebar di banyak tempat. Pada zaman Belanda terdapat dua mesjid penting, yakni mesjid Ampel dan Kemayoran. Mesjid pertama terletak di pemukiman Arab dan agak jauh dari pusat kota. Namun demikian, mesjid ini merupakan simbol yang sangat kuat karena didirikan oleh seorang wali yang sangat terkenal, yaitu Sunan Ampel (Raden Rahmat). Makam Sunan Ampel yang terletak di belakang mesjid ini merupakan daya tarik yang sangat kuat bagi warga NU untuk datang berziarah dan bertawassul. Adapun Mesjid Kemayoran cikal balaknya merupakan pemberian pemerintah Belanda sebagai kompensasi atas dirobohkannya sebuah mesjid yang terletak di alun-alun, karena hendak dibangun kantor Raad van Justitie. Dua mesjid besar lainnya, yakni Mesjid Al-Falah dan Mesjid Mujahidin dibangun setelah proklamasi kemerdekaan. Berbeda dengan dua mesjid sebelumnya yang dapat dikatakan sebagai representasi kaum nahdliyin (NU), mesjid ini dapat dianggap sebagai mesjid yang dekat dengan gerekan modernis Muhammadiyah. Hal tersebut tampak dari tidak adanya simbol-simbol seperti yang terdapat pada mesjid NU, seperti bedug, khatib yang memakai tongkat, azan dua kali pada shalat Jumat, Qunut pada waktu subuh, dan lain-lain. Akan tetapi, baik ‘Mesjid NU’ maupun ‘Mesjid Muhammadiyah’ memiliki satu simbol yang sama berupa loudspeaker untuk azan dan mengaji. Masyarakat Tionghoa adalah komunitas yang sangat memperhatikan aspek-aspek religi di dalam kehidupnya. Oleh karena itu, pembangunan tempat ibadah yang sering disebut dengan klenteng menjadi salah satu persoalan yang krusial. Klenteng bukan hanya tempat upacara keagamaan, melainkan juga sebagai ungkapan lahiriah masyarakat yang mendukungnya. Sejak zaman kolonial hingga tahun 1958, terdapat empat klenteng yang tersebar di kawasan Pecinan. Pada saat pendudukan Jepang, tidak ada kebijakan khusus yang dikeluarkan berkaitan dengan keberadaan klenteng. Namun demikian, kebijakan yang diterapkan bersifat lebih lunak. Bagi pemerintah Jepang, tekanan dan sikap keras terhadap orang-orang Tionghoa hanya akan menimbulkan konflik baru. Oleh karena itu, potensi yang dimiliki oleh penduduk Tionghoa lebih baik dimanfaatkan untuk membantu jalannya mesin perang Jepang. Antara tahun 1945 hingga 1960 hanya terdapat satu klenteng baru. Klenteng tersebut dibangun pada tahun 1951 dengan nama klenteng Pak Kik Bio yang terletak di Jalan Jagalan. Kenyataan tersebut sangat berbeda dengan Jakarta yang pada periode sama memiliki jumlah klenteng baru sebanyak 12 buah. Selain itu, dalam banyak kesempatan, kegiatan klenteng mengundang pro dan kontra. Pada tanggal 27 Maret 1959 misalnya, diumumkan adanya arak-arakan Toapekong, tetapi Pelaksana Kuasa Perang (Pekuper) Kotapradja Surabaya tidak menyetujui adanya arak-arakan Toapekong di luar klenteng. Setelah melalui negosiasi dengan pihak keamanan, akhirnya Toapekong dapat diarak keliling kota. Pelarangan ini berkaitan dengan persoalan keamanan dan ketertiban umum. Alasan yang sama dipakai juga setahun sebelumnya yang melarang penggunaan tulisan huruf Tionghoa. Sejak abad ke-19, di Surabaya telah terdapat areal pemakaman bagi orang-orang Tionghoa. Pada awalnya areal pemakaman tersebut menyatu dengan kawasan pemukiman mereka di Kembang Jepun. Antara tahun 1867-1940 terdapat areal pemakaman baru yang terletak di Embong Malang, Kupang, dan Kembangkuning. Berbeda dengan kota-kota lain seperti Yogyakarta dan Padang yang areal makamnya sangat sesuai dengan pemakaman Tionghoa, yakni terletak di bukit perbukitan, terlindung dari angin, serta menghadap ke sungai dan laut, di Kota Surabaya terletak di areal yang rata dan sangat dekat dengan pemukiman penduduk. Akibatnya konflik perebutan ruang yang mewarnai Kota Surabaya pada tahun 1950an, khususnya antara penduduk yang tidak mempunyai rumah (penduduk liar) dengan orang-orang Tionghoa tidak terhindarkan. Dengan demikian, jika bagi orang Tionghoa makam merupakan simbol yang sangat sakral, maka bagi penduduk makam tersebut merupakan areal yang siap huni. Konflik yang terjadi terutama pada pasca penyerahan kedaulatan tersebut, tidak terjadi pada zaman Belanda dan Jepang. Hal ini antara lain disebabkan oleh sikap tegas pemerintah dalam menjaga tempat-tempat publik, selain tentunya jumlah penduduk yang belum mengalami ledakan. Keseluruhan studi yang dipaparkan dalam laporan ini, baru sebagian kecil dari banyaknya simbol-simbol kota yang tersebar di Surabaya. Keberadaan simbol-simbol kota lainnya seperti yang tercakup dalam domain adat, ekonomi, etnik, dan lain-lain sesungguhnya juga tidak luput dari pengaruh kekuasaan. Dalam naskah penelitian dibahas tentang proses pendirian sebuah simbol kota termasuk berbagai konflik yang menyertainya, aktor dibalik pembangunan, dan tanggapan masyarakat. Penelitian yang berlangsung selama dua tahun ini menggunakan data arsip, surat kabar, dan wawancara.

ISBN 978-979-799-543-0 (cetak) 978-602-496-298-2 (e-book)


Detail Information

Item Type
E-Book
Penulis
Sarkawi B. Husain - Personal Name
I Ketut Ardhana (ed) - Personal Name
Student ID
Dosen Pembimbing
Penguji
Kode Prodi PDDIKTI
Edisi
1
Departement
Kontributor
Bahasa
Indonesia
Penerbit LIPI Press : Jakarta.,
Edisi
1
Subyek
No Panggil
Copyright
2010 Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
Doi

Lampiran Berkas

LOADING LIST...



Informasi


DETAIL CANTUMAN


Kembali ke sebelumnya